Alasan Keberatan Membangun Game bagi Pemula dengan Engine Pihak Ketiga
Tulisan ini adalah murni pandangan penulis pribadi sebagai tenaga pendidik dan developer. Bukan bermaksud menjelekkan pihak manapun atau menunjukkan produk penulis lebih baik.
Namun terkadang kata "gratis" yang disematkan dalam engine pihak ketiga, tidak sepenuhnya gratis sebagaimana ekspektasi penggunanya.
Dan memang gratis untuk digunakan alam dunia pendidikan, namun akan menjadi berbayar jika pengguna berusaha untuk menjualnya.
Salah satu partisipasi yang diwajibkan oleh Samsung, untuk sekolah yang mengikuti program Samsung Smart Learning Class (SSLC) adalah harus mengikuti 2 Challenge dari Decoding.
Challenge tersebut berisi siswa/siswi atau guru sekolah harus ada yang dapat membuat game dengan Construct dan Unity.
Game dapat berupa game 2D atau 3D, dan telah dipublish di play store atau hosting pribadi pembuat game.
Jika pembuat game tidak memiliki hosting atau account Play Store, dapat meminjam hosting atau account developer Decoding.
Tidak hanya challenge, untuk membantu siswa dan guru, Decoding menyertainya dengan kelas online yang berisi tutorial bagaimana membuat game menggunakan Construct dan Unity.
Sehingga siswa/siswi dan guru perwakilan sekolah, dapat lebih cepat dalam belajar membuat game.
Pertanyaannya, untuk belajar membuat game, apakah tepat jika menggunakan engine pihak ketiga, seperti Construct dan Unity di atas?
Background penulis adalah developer Android dengan nama Computational Lab di Google Play Store.
Dan sampai tulisan ini ditulis, selama pembuatan aplikasi dan game, penulis orientasikan, sebisa mungkin untuk tidak menggunakan aplikasi pihak ketiga.
Hal ini terkait kekecawaan penulis, oleh batasan lisensi yang tersembunyi dibalik embel-embel kata "gratis" dalam library, engine atau tool semacam Contruct dan Unity.
Seringkali developer yang menggunakan engine game pihak ketiga, kesulitan bahkan tidak bisa mempublikasikan game karyanya itu, karena tidak dapat dimonetize, terhalang oleh batasan lisensi atau ketergantungan maintenance terhadap engine tersebut.
Memang sangat mudah membuat game menggunakan Construct dan Unity, namun jika developer ingin mendapatkan income, atau menjualnya, developer harus membeli hak lisensi lanjutan, untuk dapat menjual engine Contruct dan Unity bersama aplikasi buatannya.
Sehingga, developer mau tidak mau, yang sudah terlanjur aplikasinya selesai dibuat, harus membeli lisensi hak menjual, agar dapat menjual atau memasangi gamenya dengan iklan.
Bukan menipu, tapi ini adalah model bisnis penyedia engine game seperti Construct dan Unity. Dan ada juga, lisensi hak menjual tersebut, tidak berlaku jika developer tidak berusaha untuk memonetize aplikasinya. Atau mempublikasikannya untuk dunia pendidikan.
Pricing Construct 3 |
Pricing Unity3D |
Untuk lebih jelas mengenai macam lisensi dan batasan Construct dan Unity, dapat dilihat pada masing-masing web resmi mereka.
Sedangkan menurut penulis, mumpung diusia mereka yang masih dini dalam pemrograman, hendaknya siswa/siswi lebih diajari dengan hal yang paling mendasar.
Tidak hanya membuat game, dengan menulis kode program dari 0, mereka juga perlu diajari apa itu lisensi, dan pengetahuan tentang pelanggaran hak cipta.
Bukan hanya hak cipta tool atau engine game yang digunakan, juga terkait hak cipta konten yang terdapat dalam game.
Contohnya gambar karakter yang digunakan, karakter tidak boleh menggunakan gambar anggota Avenger, yang hak ciptanya berada di tangan Marvel. Dan penulis sendiri, sering kali berpesan pada teman-teman developer penulis, untuk membuat karakter yang hasil gambar/karya developer sendiri, dan tidak mencontoh/plagiat karya orang lain.
Sehingga penulis merasa aneh saja jika challenge yang diperuntukkan bagi pemula, malah diharuskan menggunakan tool yang bersifat instanst.
Bukan hanya malah mencetak generasi yang kurang produktif, namun malah akan mencetak generasi yang konsumtif. Sebab mau berkarya saja harus beli layanan pihak ketiga, yang belum tentu sebanding dengan income yang dihasilkan oleh produknya nanti.
Terlebih jika engine seperti Construct dan Unity support untuk selamanya, tetapi jika ditengah jalan mereka gulung tikar, akibat tergerus teknologi atau model bisnis yang baru, mau kemana generasi developer yang sudah bergantung pada engine semacam itu.
Oleh sebab itu, menurut penulis alangkah sangat baiknya jika para generasi baru developer game, lebih diajari mulai dari 0. Bukan diajari menggunakan dengan cara dan alat yang instanst.
Mumpung mereka masih muda dan bertenaga, serta dengan ide-ide yang mungkin tidak pernah terpikirkan oleh generasi sebelumnya.
Kalau untuk developer senior, yang sudah memiliki traffic pengguna dan income. Mungkin penggunaan engine pihak ketiga ini cocok dan merupakan solusi target kecepatan jumlah produksi game yang tepat.
Karena kenyataannya, berhasil membuat satu aplikasi atau game, belum tentu dapat menjadikan programmer menjadi kaya.
Masih ada perjuangan bagaimana menjual, me-maintenance, menanggapi review, komentar, saran, iklan, pajak, biaya transfer antar negara dan semua yang terkait dengan dunia marketing lainnya.
Semua itu akan lebih mudah dicari solusinya dan murah, jika product adalah karya sendiri.
Bahkan, hukum akan turut melindungi jika karya itu dicuri atau dijiplak oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.
Selain itu, dengan memulai dari 0, developer akan lebih tahu apa saja dan bagaimana cara me-maintenance aplikasi atau game buatannya tersebut.
Di mana keuntungannya, aplikasi atau game akan mempunyai waktu peredaran yang lebih lama, dibanding aplikasi yang terikat atau menggunakan engine dari pihak ketiga.
Komentar
Posting Komentar