Apakah Kuliah untuk Bekerja
Tidak lama sebelum tulisan ini ditulis, dalam posting Facebook-nya, profesor penulis mengeluhkan menunjukkan adanya persaingan tidak sehat di antara perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta.
Kompetisi ini, tidak lain karena banyaknya perusahaan/instansi di Indonesia, mensyaratkan IPK sebagai administrasi utama, yang jika tidak memenuhi di atas tiga, maka surat lamaran akan masuk tong sampah.
Penulis pernah membuktikannya sendiri ketika bekerja di suatu sekolah swasta, sebelum masuk meja "HRD", surat lamaran calon karyawan yang masuk, di sortir dulu untuk dipilih yang hanya ber-IPK tiga. Padahal yang mensortir itu sendiri hanya lulusan SMA.
Dan diakhir tulisan, profesor penulis menekankan, bahwa untuk bekerja yang dibutuhkan adalah skill dan kemauan untuk bekerja keras, bukanlah IPK.
Lalu apakah kuliah untuk bekerja?
Menurut penulis, jika cita-citanya memang untuk menjadi tenaga pengajar, seperti guru atau dosen, adalah benar jika kuliah untuk bekerja.
Bekerja sebenarnya tidaklah butuh kuliah, dan seharusnya, yang kuliah adalah yang dapat menciptakan lapangan pekerjaan. Minimal pekerjaan untuk dirinya sendiri.
Budaya kolot di Indonesia-lah yang menciptakannya.
Dengan semakin terkuaknya pekerjaan-pekerjaan freelance di tahun 2021 ini, ragam pekerjaan yang lebih membutuhkan skill dibanding ijazah seperti Yutuber, Blogger, Android Developer, dan er..er-lainnya, penulis berharap pada generasi muda untuk tidak menganggap ijazah sebagai patokan utama dalam mencari pekerjaan.
Jika dapat menciptakan lapangan pekerjaan sendiri, gelar S3 pun akan percuma jika tidak dapat menghasilkan produk yang berguna untuk masyarakat.
Referensi:
Komentar
Posting Komentar