Pengalaman Menggunakan BPJS Kesehatan Pertama Kali
Penulis adalah salah satu peserta BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) Kesehatan golongan tiga, dan terdaftar semenjak tahun 2018.
Saat tulisan ini dibuat, penulis bekerja sebagai freelance disalah satu sekolah swasta di Malang, dengan gaji satu juta per bulan, dan bertugas sebagai admin website.
Berikut ini adalah pengalaman penulis dalam mempergunakan Kartu Indonesia Sehat (KIS) dari BPJS.
Awal Mula
Pada tanggal 4 Oktober 2019, penulis mendapat berita gembira, istri penulis dinyatakan hamil oleh salah satu dokter Obestetri & Ginekologi (SpOG) Rumah Sakit (RS) di Malang.
Pernyataan tersebut berdasarkan hasil Ultrasonography (USG), dengan ukuran kantung tanda kehamilan yang mini.
Dokter mengatakan ukuran bayinya "nyenil" dan posisinya menempel di bagian bawah rahim.
Penulis bersama istri pun merasa sangat senang.
Kebahagiaan yang ditunggu semenjak 4 tahun usia pernikahan kami, akhirnya berbuah juga.
Masalahnya, satu bulan sebelumnya, istri penulis terlanjur membeli dua pasang tiket pesawat pulang pergi ke Surabaya-Jakarta, untuk keperluan penyetaraan ijazah S2.
Untuk hal itu, meskipun dokter sangat menyarankan untuk membatalkan perjalanan yang tinggal dua minggu lagi, karena usia kandungan yang masih berkisar umur lima minggu, akhirnya calon bayi penulis diberikan obat penguat dan hanya digunakan selama di pesawat.
Niat Keikutsertaan
Memang semenjak awal, keikutsertaan kami dalam BPJS dapat dibilang sebagai cadangan jika sesuatu hal yang tidak diinginkan terjadi.
Kami berniat, selama penulis dan istri masih mampu, biaya berobat akan tetap kami bayar dengan uang pribadi kami.
Oleh karena itu, periksa kehamilan di atas kami biayai dengan uang pribadi kami. Dengan total sekitar Rp 250 ribu, termasuk obat.
Selain itu, alasan lain kami menggunakan biaya kami sendiri, karena memang berencana melahirkan di rumah ibu mertua, di Banyuwangi.
Serta penulis memang malas untuk merubah-rubah posisi Faskes (Fasilitas kesehatan) tingkat I di KIS. Takut ada validasi tambahan yang penulis belum ada waktu luang untuk mengurusinya.
Periksa Dokter Kedua
Singkat cerita, perjalan Surabaya-Jakarta lancar dan penulis bersama istri kembali ke Malang dengan selamat.
Untuk memastikan janin kami baik-baik saja, maka pada tanggal 24 Oktober 2019 kami kontrol ke dokter yang sama, di Malang.
Berdasarkan hasil USG, janin diperkirakan telah memasuki minggu ke sembilan, tumbuh dan detak jantung telah terlihat, meskipun lemah.
Melihat janin kami tumbuh sehat, dan tidak terganggu oleh perjalanan Surabaya-Jakarta, dengan Malang-Surabaya ditempuh dengan sepeda motor, kami pun semakin bersyukur dan yakin bayi kami adalah bayi yang kuat.
Untuk periksa dokter kali ini, penulis tetap menggunakan uang pribadi penulis, dengan total biaya sekitar Rp 130 ribu.
Periksa Dokter Ketiga
Karena telah yakin bayi kami kuat, yang terbukti dari perjalanan ke Jakarta sebelumnya, maka ketika penulis ingin mengunjungi ibu penulis di Kediri, penulis mengiyakan istri penulis ikut bersepeda motor menemui ibu penulis.
Dan ternyata inilah awal mula permasalahan pada bayi kami.
Sesampai di Kediri, tidak tahu kenapa, badan istri penulis panas dan katanya terasa mau pilek.
Memang dalam perjalanan kami sempat diterjang hujan.
Tetapi karena penulis berhati-hati dengan kecepatan perjalanan tidak lebih dari 40 km/jam dan memakai jas hujan, kami yakin bayi kami tidak kenapa-kenapa.
Untuk memastikan, keesokan paginya penulis membawa istri penulis ke Balai Pengobatan dekat rumah ibu kandung penulis.
Sama sesuai alasan ketika periksa kehamilan pertama.
Disebabkan di Kediri tidak sesuai alamat tertera dalam KIS dan malas pindah Faskes tingkat I, penulis membayar biaya periksa dengan uang pribadi.
Kali ini totalnya Rp 160 ribu.
Sesuatu yang Salah
Saat pemeriksaan, dikarenakan kami tidak menceritakan hasil pemeriksaan sebelumnya, dokter mengira kami adalah pasangan yang baru pertama kali cek kehamilan.
Anggapan itu didasari dari tidak terlihatnya bayi kami di USG, yang seolah umurnya kembali ke usia 7 minggu.
Baru setelah kami mengatakan bahwa kami telah pernah periksa sebelumnya, dokter baru mengerti maksud kedatangan kami.
Dokter tersebut mendiagnosa, mungkin ada kesalahan perkiraan usia janin oleh dokter sebelumnya itu, yang mana harusnya lebih muda dua minggu.
Dan untuk menghindari hal buruk terjadi, dokter menyarankan untuk melihat kembali perkembangan janin dua minggu ke depan.
Jika embrio tidak berkembang, maka akan dilakukan penanganan lebih lanjut.
Semakin Salah
Setelah itu, kami kembali ke Malang.
Dengan bersepeda motor, dan kecepatan yang sama saat pulang ke Kediri sebelumnya.
Tidak disangka, sesampainya di kontrakan, kali itu pertama kalinya istri penulis mengeluarkan bercak darah.
Bercak darah itu menjadi bergumpal-gumpal, coklat dan semakin banyak di keesokan harinya, tetapi tidak sampai tembus.
Kami sempat panik, namun karena uang kami saat itu menipis, dan istri penulis percaya jika hal itu umum terjadi, kami memutuskan pemeriksaan dilakukan di rumah sakit di Banyuwangi saja, yaitu tiga hari setelah hari itu.
Dan dengan harapan dapat menggunakan KIS.
Periksa Dokter Keempat
Dengan naik kereta api, istri penulis sampai di Banyuwangi.
Dan ternyata, keesokan harinya, flek dan gumpalan coklat-coklat justru menjadi merah darah, serta lebih banyak.
Akhirnya sekitar jam setengah 5 sore, penulis membawa istri ke Bidan dekat rumah.
Mengetahui pendarahan tersebut, Bidan menyarankan untuk dilihat dengan USG di klinik kenalannya di Kota Banyuwangi.
Penulis pun meluncur ke klinik yang dimaksud.
Tepat jam 5 sore kami sampai dan ternyata sesuai dengan jam praktek dokter SpOG yang bertugas di sana.
Bukan kabar baik, dari hasil USG, sang dokter langsung mengatakan jika kantung janin kosong dan harus di kuret.
Mendengar diagnosa tersebut, kami bingung, antara sedih, bersalah, kecewa, marah, dan tidak percaya.
Karena istri penulis masih meyakini bayi kami masih ada, kami berencana membandingkan dengan periksa ke dokter lain, dengan beralasan ke dokter di klinik itu akan kembali esok harinya, jika kami bersedia untuk di kuret.
Dan masih belum menggunakan BPJS, pemeriksaan kali ini memakan biaya Rp 250 ribu.
Periksa Dokter Kelima
Begitu keluar klinik, kami langsung menuju ke salah satu rumah sakit terdekat.
Kali itu, orientasi penulis adalah rumah sakit yang terpercaya, dan bukan sekedar klinik.
Kami menemukan rumah sakit swasta terdekat, dan karena kami datang sekitar jam 6 sore, kami mendapat nomor antrian terakhir.
Dan setelah menunggu antrian, menceritakan hasil pemeriksaan dokter-dokter sebelumnya, kecuali yang dari klinik, hasil pemeriksaan dokter mengatakan hal yang sama dengan dokter yang di Kediri.
Dokter menyarankan kepada kami untuk melihat perkembangan janin dua minggu ke depan.
Namun jika pendarahan semakin banyak dalam waktu kurun waktu tiga hari, kami diharuskan segera kontrol, atau langsung masuk UGD (Unit Gawat Darurat).
Masih dengan uang pribadi, pemeriksaan tersebut dengan biaya Rp 230 ribu.
Periksa di Faskes I
Tiga hari berikutnya pendarahan justru semakin banyak.
Istri penulis sampai memakai pembalut agar tidak tembus.
Dikarenakan finansial kami menipis, tidak ada pilihan lain, akhirnya kami menggunakan KIS.
Sesuai prosedur, untuk menggunakan fasilitas BPJS, kami diwajibkan periksa dulu di Faskes tingkat I sesuai yang tertera di kartu atau aplikasi JKN.
Faskes tingkat I kami tercatat di Puskesmas Gladag.
Tentu karena kondisi pendarahan banyak, dan mungkin karena Puskesmas tidak memiliki USG, dokter Puskesmas langsung merujuk ke Faskes tingkat selanjutnya.
Dengan BPJS, di Puskesmas Gladag kami tidak melakukan pembayaran sepeserpun dan mendapat surat rujukan ke rumah sakit Faskes tingkat II.
Perkiraan penulis, biaya pemeriksaan di Puskesmas harusnya berkisar Rp 50 ribu.
Periksa Dokter Keenam
Dari Puskesmas kami langsung ke rumah sakit rujukan.
Karena istri penulis masih kuat, kami memilih untuk mengantri kedatangan dokter sesuai jadwal yang tertera.
Meskipun sebenarnya perawat memberi keleluasan kepada kami untuk melapor, jika istri penulis mengalami hal-hal yang tidak diinginkan atau merasa kecapekan selama mengantri.
Dari hasil USG, dokter masih melihat kantung bayi kami masih kuat, sayangnya ada luka di dekat ari-ari dan sangat dimungkinkan sumber pendarahan berasal dari itu.
Diagnosa akhir, dokter menyebutkan bayi penulis terancam keguguran (Abortus Iminens).
Sama seperti dokter sebelumnya, dokter menyarankan untuk cek kembali dua minggu kemudian, dengan catatan jika pendarahan semakin hebat sebelum waktu dua minggu itu, diharuskan segera masuk ke IGD (Instalasi Gawat Darurat).
Semua biaya pemeriksaan dan obat di rumah sakit itu, ditanggung dengan BPJS. Yang mana menurut penulis, biaya berkisar Rp 250 ribu.
Memburuk
Tidak membaik, kondisi istri penulis justru memburuk.
Dua malam kemudian, istri penulis merasakan seperti ada sesuatu yang lepas dalam perutnya.
Di mana setelah itu, secara tidak kontinyu, istri penulis merasakan sakit, seperti ada yang menggerus-gerus dalam rahimnya, seakan mencoba mengeluarkan sesuatu.
Begitu juga dengan darah yang dikeluarkannya, semakin banyak dan sudah tiga kali ganti pembalut dalam semalam.
Oleh sebab itu, paginya penulis langsung membawa istri penulis ke rumah sakit rujukan yang sebelumnya, dan masuk IGD.
Masuk IGD
Di IGD, istri penulis langsung menjadi pasien rawat inap, dengan administrasi seluruhnya menggunakan BPJS.
Begitu dokumen yang disiapkan oleh pihak rumah sakit selesai penulis tanda tangani, istri penulis masuk disalah satu kamar di bagian ibu dan anak, untuk mendapat perawatan dan menunggu dokter.
Dikamar itu seorang perawat langsung masuk memeriksa istri penulis, dan tampaknya memberi obat penguat.
Sampai saat itu, penulis dan istri masih yakin jika bayi kami tidak apa-apa.
Keputusan Dokter
Istri penulis tetap merasa kesakitan, dan semakin sakit seiring waktu bertambah siang.
Sampai jam menunjukkan pukul sebelas lebih, sesuai jadwal dokter SpOG yang kami temui dua hari sebelumnya.
Seorang perawat datang menemui kami meminta persetujuan untuk di kuret.
Melihat kondisi istri yang semakin kesakitan, kami hanya bisa pasrah dan penulis tanda tangan berkali-kali di berkas persetujuan tanpa sempat membacanya.
Perawat tersebut berkata, bahwa saran dokter lebih baik untuk tidak mempertahankan bayi kami.
Istri penulis sempat tidak percaya dan ingin meminta untuk memastikan dulu dengan USG, masih ada atau tidak detak jantung bayi kami sebelum di kuret.
Tetapi entah kenapa permintaan itu tidak muncul dalam bentuk kata-kata.
Mungkin saja dokter dan perawat tahu bayi kami sudah meninggal saat itu, namun masih mencoba membesarkan hati kami dengan berkata untuk tidak mempertahankan.
Kritis
Sebelum pergi dan persiapan kuretase yang dijadwalkan pukul empat, perawat meminta kami menyiapkan dua helai kain yang lebar.
Karena tidak dibawa, penulis pulang dulu ke rumah untuk mengambilnya.
Tidak disangka, selama penulis tinggal pergi, istri penulis semakin kesakitan.
Penulis sangat menyesal jika teringat meninggalkan istri penulis sendirian saat itu.
Sampai ketika penulis datang, kedua tangannya sudah kram, kaku menahan rasa sakit.
Penulis bingung dan hanya bisa memeluknya agar tidak sampai pingsan.
Beruntung ada kakak keponakan penulis yang datang dan memanggilkan perawat.
Saat perawat datang, salah satu perawat tahu kalau janin yang gugur mau keluar dan spontan membimbing istri penulis untuk mengeluarkannya.
Kurang lebih pukul 2.15 siang, pada Rabu 13 November 2019, keluarlah janin bayi kami yang telah gugur dengan sendirinya.
Kuretase
Hati kami sedih dan hancur, karena terbukti bayi kami memang telah tiada dari sebelumnya.
Dengan melihat ukuran janin, kami yakin jika seharusnya bayi kami pernah hidup, dan usianya sesuai dengan diagnosa dokter di Malang.
Meskipun sudah keluar, kuretase tetap dilakukan untuk membersihkan jaringan janin yang masih tersisa.
Untuk itu kami menunggu sampai istri penulis dipanggil ke ruang bersalin.
Pelepasan
Sekitar jam tiga sore, istri penulis di bawa ke ruang bersalin.
Kurang lebih selama satu setengah jam istri penulis menjalani kuretase.
Begitu istri penulis di bawa lagi ke kamar, kakak keponakan yang entah dari mana mendapat jaringan hasil kuretase, meminta penulis untuk segera menguburnya bersama janin yang telah keluar sebelumnya.
Penulis pun membawanya pulang dan meminta bantuan kakak laki-laki keponakan menguburkannya di pemakaman.
Dengan dibungkus kain kafan, ditali tiga tempat, diberi nama, diadzankan, dikuburkan dekat makam Bapak mertua penulis, lalu kami kirimi dengan doa, prosesi pelepasan (penguburan) bayi kami selesai tepat ketika dikumandangkannya adzan maghrib.
Untuk memastikan kondisi istri penulis baik-baik saja, penulis pun cepat-cepat kembali ke rumah sakit.
Pemberkasan Akhir
Di rumah sakit penulis melihat kondisi istri penulis baik-baik saja.
Dan mungkin untuk melihat efek samping obat bius kuretase, istri penulis belum diijinkan pulang dan perlu menginap dulu di rumah sakit semalam.
Baru keesokan harinya, sekitar jam 8 pagi, penulis diminta melengkapi tanda tangan berkas, mendapat surat kontrol dari dokter dan diperbolehkan pulang.
Semua biaya rawat inap, kuretase dan obat di atas semuanya ditanggung dengan BPJS.
Penulis hanya mengeluarkan biaya, untuk mengganti celemek, senilai Rp 60 ribu.
Perkiraan total biaya yang harusnya dibayar penulis, pastinya lebih dari tiga juta.
Penutup
Tulisan ini sama sekali bukan penulis niatkan untuk mempromosikan BPJS.
Tetapi kami mencoba membagikan cerita bagaimana BPJS kami gunakan.
Dari cerita di atas, penulis berharap pembaca dapat membandingkan sendiri biaya yang harus dikeluarkan dengan uang pribadi, dibanding dengan menggunakan fasilitas kesehatan BPJS.
Dan tulisan ini kami juga dedikasikan untuk mengenang putra kami yang bernama Albert Ezra Nathaniel Ubaidillah, yang belum berkesempatan mengikuti jejak ayahnya sebagai programmer, dan calon pewaris Edugameapp dari Computational Lab.
Komentar
Posting Komentar