Sisi Lain Tenaga Outsourcing
Sebelum menjadi Tenaga IT di Brawijaya Smart School (BSS) UB, penulis sempat menjadi tenaga laboran di Jurusan Fisika Universitas Brawijaya, Malang.
Dan sama, dikedua tempat pekerjaan ini, status penulis bukan menjadi karyawan tetap, tetapi menjadi tenaga outsourcing.
Mulanya, penulis tidak begitu memikirkan mengenai status tersebut.
Namun lambat laun, karena seringkali ketika bertemu dengan teman-teman yang bekerja di instansi, perusahaan atau badan hukum lainnya, ketika penulis menceritakan pekerjaan penulis yang lebih suka menjadi tenaga lepas, mereka justru menasehati penulis untuk lebih berorientasi menjadi karyawan tetap?
Adakah yang salah menjadi tenaga outsourcing?
Apakah salah jika berstatus freelance?
Oleh karena itu, penulis mencoba berpikir ulang, kenapa teman-teman penulis banyak yang tidak mendukung pekerjaan lepas penulis yang berawal dari kesukaan?
Perlu diketahui, selain sebagai tenaga outsoursing, penulis mempunyai project/pekerjaan sendiri. Yaitu sebagai Android app dan game developer yang mendapatkan income dari iklan Adsense.
Karena project pribadi penulis itu belum menghasilkan income yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup, maka penulis masih perlu bekerja menjadi tenaga outsoursing ini.
Nah sebenarnya, apakah tenaga outsourcing itu?
Berdasarkan pengalaman penulis, tenaga outsourcing adalah termasuk model bisnis pengadaan Sumber Daya Manusia (SDM), yaitu tenaga yang dibutuhkan dan digaji oleh suatu instansi atau perusahaan, untuk menangani suatu spesifikasi pekerjaan dan dalam masa kontrak tertentu. Dan instansi atau perusahaan yang bersangkutan bersifat tidak mengikat selamanya, sehingga tidak perlu memikirkan tentang jenjang karier, tunjangan dan kesejahteraan karyawannya yang berstatus kontrak ini.
Kalau kontrak habis, instansi atau perusahaan berhak untuk tidak mau tahu dan tidak perlu mengeluarkan pesangon.
Definisi di atas adalah definisi tenaga outsourcing sesuai kesimpulan penulis pribadi.
Dan tidak lain adalah hasil telaah dan diskusi dengan teman-teman, mitra kerja, dan berbagai sumber lainnya, yang penulis lupa dari siapa saja definisi tersebut diucapkan.
Dan penulis yakin, perbedaan yang paling pokok antara karyawan tetap dibanding outsourcing, hanya masalah gaji dan kesejahteraan yang diberikan oleh sang pemberi kerja.
Menurut penulis dan bukan bermaksud menghina teman-teman penulis yang berprofesi sebagai karyawan, mereka memberi nasehat seperti itu karena memang posisi mereka yang bekerja sebagai karyawan.
Dan mungkin, karena usia, mindset mereka telah hanya sampai sebatas karyawan tersebut.
Padahal, definisi outsourcing akan berbeda, jika dilihat dari sisi jabatan yang berbeda.
Contohnya, menurut sudut pandang sang bos yang memperkerjakan mereka.
Karena pekerjaan yang butuh dikerjakan hanya untuk jangka waktu tertentu, maka perusahaan akan lebih baik menggunakan tenaga outsourcing, dibanding mereka membuka lowongan, untuk recruitment karyawan tetap yang baru.
Dan jika hasil kerja buruk, maka instansi atau perusahaan, akan sangat berhak untuk melakukan pemutusan hubungan kerja, sewaktu-waktu.
Sedangkan hasil diskusi mengenai outsourcing yang lain, kurang lebih dapat penulis rangkum dalam bentuk nasehat jawab berikut ini:
Teman A: "Meskipun outsourcing, ditelateni saja, nanti lama-lama diakui, gaji dan tunjangan naik-naik!"
Jawab: Salah satu pekerjaan yang paling enak, adalah pekerjaan yang tidak terikat. Men-telateni, berarti kita yang harus mengikuti aturan dari instansi atau perusahaan. Adalah hebat jika instansi atau perusahaanlah yang mengikuti aturan karyawannya, dan itu adalah para owner, bos, CEO, CTO atau para petinggi lainnya-bahkan mereka yang membuat aturan.
Mereka itu bos, bukan para karyawan.
Dan jika semua karyawan hanya berpikir yang penting digaji, maka pola pikir seperti inilah yang membuat perkembangan instansi atau perusahaan menjadi lambat bahkan tidak berkembang sama sekali.
Teman B: "SK karyawan tetap, paleng tidak dalam 5 tahun keluar, kalau sudah jadi karyawan tetap, enak wes.."
Jawab: Enak dalam segi apa? kalau SK sudah keluar, terus ngapain?
Dari sebelum bekerja pun, penulis penasaran dengan pernyataan ini. Kalau seumpama ini terkait dengan jenjang karier dan tunjangan, toh berarti kesimpulan jawabannya akan sama saja, gaji dan kesejahteraan.
Tetapi apakah dengan adanya kita bekerja di dalamnya, perusahaan atau instansi semakin maju dan berkembang, atau yang penting jalan?
Apakah gaji yang diterima, keringat yang dikeluarkan, telah sebanding yang diberikan dengan peran sebagai karyawan?
Perusahaan besar seperti Blackberry dan Nokia sekalipun, dapat tumbang oleh perkembangan zaman. Dan ini pasti tidak pernah terpikirkan sebelumnya oleh para karyawannya yang dipecat.
Menjadi karyawan dalam suatu perusahaan besar, kebanyakan pasti berpikir, hal itu adalah titik aman pertama.
Nyatanya, hal itu relative dan adalah bencana jika titik aman tersebut tergerus, apalagi saat usia karyawan telah mulai menjadi tua.
Teman C: "Yang namanya kerja ikut orang, ya harus seperti itu...menjadi penjilat merupakan hal yang wajar"
Jawab: Pernyataan di atas didasari oleh pengamatan penulis, banyak orang yang cepat naik kariernya, adalah orang-orang yang menjadi penjilat.
Mungkin hal ini akan baik bagi diri penjilat tersebut, namun apakah akselerasi karier seperti ini baik untuk instansi atau perusahaannya?
Yang pasti tidak, ketika penjilat telah menduduki posisi tertinggi dan telah terbiasa bekerja sesuai yang diperintahkan atasannya, selanjutnya perintah siapa yang akan dia kerjakan dan siapakah yang akan dia jilat. Bos dari perusahaan lain?
Hal ini sebenarnya adalah salah satu alasan kenapa penulis lebih suka bekerja sebagai freelance. Bekerja sendiri, sesuai ide sendiri, dan tidak ada praktek jilat-menjilat.
Di sisi lain, Sugeng Rianto, seorang mantan direktur BSS UB, pernah berkata kepada penulis "Karyawan, baik itu yang tetap maupun yang freelance, sebenarnya sama saja. Masalah muncul sebenarnya ketika mereka terusik menuntut hak, seperti meminta kenaikan gaji atau tunjangan misalnya. Padahal menaikkan gaji satu karyawan saja, harus melalui banyak pertimbangan, termasuk keadilan bagi karyawan yang lain".
Rianto juga menuturkan, jika terdapat masalah seperti di atas, solusi yang ditawarkan sederhana. Instansi akan lebih memilih melepas karyawan tersebut.
Toh diluar sana pasti masih banyak tenaga baru yang dapat menggantikan, atau bahkan lebih baik.
"Kalau manajemen instansi itu bagus, pasti sebenarnya perusahaan sudah memikirkan dan memberikan kesejahteraan bagi karyawan-karyawannya. Permintaan kenaikan gaji, tunjangan atau semacamnya, biasanya diprakarsai oleh para karyawan yang tidak tahu diri dan loyal kepada instansi tersebut. Loyalitas itu penting bagi perkembangan perusahaan, dan kalau karyawan tidak mau diajak berjuang, ya sudah, kita lepaskan" tambah Rianto.
Oleh sebab itu, menjadi karyawan tetap ataupun tidak tetap, sebenarnya sama saja. Menurut penulis, hal ini tergantung kepada kesadaran dan loyalitas pribadi karyawan masing-masing.
Dan alangkah baiknya, jika setiap karyawan punya product sendiri. Sehingga suatu hari nanti, dia tidak perlu lagi menjadi karyawan selamanya.
Tulisan ini adalah salah satu titik awal pembuktian, kebenaran apakah bekerja sesuai prinsip, sebagai freelance, kalah dengan orang lain yang lebih berorientasi sebagai karyawan tetap.
Komentar
Posting Komentar