Ijazah lebih Penting Dibanding Skill
Ilustrasi pendidikan (Sumber gambar:Pixabay/Wokandapix) |
Seorang dosen berkata kepada penulis, tentang pernyataan temannya yang menjabat sebagai petinggi di jurusan, terkait penerimaan dosen baru suatu perguruan tinggi negeri yang lebih memilih lulusan dengan gelar S3.
"Katanya dia tidak mau tahu (kemampuan atau skill), yang penting di atas kertas mengatakan seperti itu (bergelar S3 di ijazahnya), dan itu lebih menguntungkan bagi kita", cerita dosen penulis yang temannya lebih memilih menerima calon dosen dengan ijazah S3 dibanding S2.
Selain itu, dalam perekrutan salah satu guru di sekolah swasta, penulis melihat sendiri, jika kelengkapan administrasi, hasil test tulis, dan psikotest lebih menentukan dibanding kemampuan guru, yang baru terlihat saat test mengajar.
Kedua contoh di atas adalah cerminan bagaimana perekrutan tenaga kerja yang terjadi di Indonesia.
Penulis yakin, sebagian besar instansi atau perusahaan di Indonesia masih menggunakan cara tersebut.
Bahkan terdengar isu, untuk mempertahankan dan meningkatkan akreditasi, jurusan sengaja semakin mempermudah mahasiswa meraih nilai, agar minimal memperoleh Indek Prestasi Kumulatif (IPK) 3.0 saat lulus dan memperpendek masa studi.
Artinya, lulusan S1 bisa jadi kemampuannya masih tetap setingkat SMA. Lulusan S2 bisa jadi cuma menghabiskan budget gaji karyawan suatu instansi atau perusahaan dimana dia bekerja. Dan Lulusan S3 hanya digunakan oleh universitas untuk memenuhi syarat secara tertulis, membuka jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Belum lagi dengan trend para pencari gelar S2, yang berorientasi kuliah, hanya untuk kenaikan pangkat atau gaji.
Penyalah-gunaan keilmuan semacam inilah yang menurut penulis termasuk penipuan dan pembodohan.
Dan hanya akan menimbulkan krisis intelektual, yang dapat menyebabkan seseorang yang bergelar S1, S2, S3 dan selebihnya, hanya akan menjadi gelar semata.
Kemudian bagi mereka yang sudah menjadi oknum, mereka tidak ubahnya seperti perampok. Yaitu meminta gaji bulanan yang lebih, dengan cara yang halus, dengan tingkat gelar yang sudah mereka sandang.
Oleh karena itu, sampai saat tulisan ini ditulis, penulis berusaha untuk mendapatkan income tanpa ijazah penulis.
Penulis lebih suka bekerja dan mencari dana pensiunan mandiri, dari kemampuan penulis sendiri.
Nyatanya juga, ketika tulisan ini ditulis, ijazah penulis masih di universitas di mana penulis dulu pernah kuliah.
Penulis lulus sampai tahap compre S1, namun dengan kenyataan di dunia pendidikan yang seperti penulis sebutkan di atas, penulis sangat tidak ingin menggunakan ijazah penulis sebagai modal untuk bekerja.
Bagi penulis, bekerja dengan modal ijazah tanpa kemampuan yang seimbang, adalah sama halnya merampok.
Sehingga dari tulisan ini penulis ingin mengajak pembaca untuk mengubah cara pandang, bahwa ijazah bukan lah hal satu-satunya menunjukkan kepandaian seseorang dalam bekerja.
Jika ingin bekerja sesungguhnya, bekerjalah sesuai kemampuan masing-masing. Dan dengan income yang didapat, adalah bukti finansial tingkat kemampuan yang dimiliki.
Penulis yakin, banyak instansi atau perusahaan di Indonesia ini, membuang dana mereka percuma tiap bulannya hanya untuk menggaji Sumber Daya Manusia (SDM), yang kemampuan bekerjanya tidak layak sesuai gelar di ijazahnya.
Komentar
Posting Komentar