Saatnya untuk Melepas Ijazah
Senin, 9 Maret 2020, penulis mendapat pesan chat dari Bapak Adi Susilo, Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Brawijaya yang menyarankan untuk mengambil ijazah penulis.
Pesan ini bukan pesan yang pertama, tetapi sudah yang kedua kalinya.
Perlu diketahui, sejak penulis lulus tahun 2010, ijazah penulis memang belum bisa diambil karena penulis memiliki tanggungan hutang SPP yang belum dibayar.
Dikarenakan merasa tidak sopan untuk sekedar membalasnya dengan balasan chat, penulis memutuskan untuk menghadap Pak Adi, keesokan harinya.
Menghadap
Pada pesan chat sebelumnya, penulis juga menghadap ke Pak Adi.
Waktu itu penulis beralasan belum memiliki dana untuk melunasi hutang SPP. Sedangkan pada kali kedua ini, penulis lebih memilih untuk melepasnya.
Melepas yang dimaksud disini, karena penulis tidak mau dipermasalahkan, masalah pemberkasan dan urusan birokrasi.
Sebab, memang semenjak dulu penulis merasa malas jika harus dimarah-marahi oleh petugas administrasi, baik itu dari kampus atau instansi pemerintah di luar kampus lainnya, yang nyatanya dulu penulis pernah menjadi bagian dari mereka.
"Mungkin hanya di Indonesia, petugas punya hak memarahi rakyat yang seharusnya dilayaninya" pikir penulis.
Daripada bermusuhan dengan mereka, lebih baik penulis untuk mundur. Toh kesalahan sebenarnya dari penulis sendiri, kenapa dari dulu tidak segera menebusnya.
Istri
Istri penulis, yang penulis sengaja ajak menghadap, setelah mendengar saran dari Pak Adi, mencoba menanyakan langsung ke pihak akademik.
Sebelum menghadap, istri penulis bersikeras untuk menebus dengan uang tabungannya.
Tetapi sekembali dari akademik, dia langsung putus semangat. Merasa seperti akan dilempar-lempar, dari satu petugas ke petugas lain.
Nyatanya, istri penulis telah berpengalaman sebelumnya mengurus ijazahnya sendiri. Yaitu ketika dia akan berangkat ke NCU Taiwan.
Sehingga setelah 10 tahun seperti tidak ada perubahan cara kerja mereka (petugas administrasi), istri penulis ikut mundur.
Azam
Meskipun Pak Adi menasehati penulis untuk tetap mengambilnya, penulis dan istri tetap enggan untuk memperjuangkannya.
Meski dalam kenyataannya, penulis telah bekerja selama 10 tahun tidak pernah melamar atau mengunakan ijazah.
Penulis yakin, jika tanpa ijazah sekalipun, dengan Computational Lab yang telah penulis bangun, penulis akan dapat berwiraswasta tanpa ijazah dan berpenghasilan lebih bersih (halal).
Penulis telah mengetahui bagaimana orang-orang berijazah mengambil proyek hanya untuk keuntungan pribadi mereka. Terutama di akhir tahun.
Bersama tulisan ini, penulis berazam untuk tetap melunasi hutang SPP penulis suatu hari nanti. Dan jika setelah itu ijazah penulis "Dikasihkan ya syukur, jika tidak, ya sudahlah" penulis rela melepasnya.
Dan penulis banyak mengucapkan banyak terima kasih, kepada Pak Adi, Pak Rouf, Pak Sugeng, Pak Naba, Pak Unggul, Pak Agus Prasmono, Pak Gancang, dan semua dosen-dosen penulis yang telah membantu penulis dan istri, baik secara langsung ataupun tidak langsung. "Dari Bapak-bapak semua, penulis telah belajar hidup dan mengerti bahwa ilmu lebih penting". Dan penulis yakin jika ijazah bukan segalanya.
Komentar
Posting Komentar